Dan Saya Bangga...


Teman-teman yang baik,

Saya—dan bisa jadi sebagian rekan akan mempunyai perasaan menyesal jika esok tak bisa datang ke sebuah gedung pameran, yang sependek pemahaman saya adalah suatu tempat yang sering dijadikan sarana untuk ajang promosi beragam produk nusantara. Besok, Sabtu 28 September 2013, Gedung SMESCO (ada yang menyebutnya SME Tower) akan menjadi saksi telah lahirnya putera puteri Soedirman yang kini membelah nusantara dan berpendar ke segenap penjuru dunia dalam beragam karya. Unsoed telah berusia setengah abad. Lima puluh tahun. Usia Emas!

Aneka produk unggulan, rupa-rupa makanan khas, pentas seni, dan pameran karya-karya generasi Soedirman esok akan memenuhi seluruh ruangan di gedung yang berlokasi tak jauh dari Semanggi, salah satu landmark ibu kota Jakarta ini.

Dua hari ini ada perasaan bangga, senang, penasaran, semuanya bercampur menjadi satu. Di berbagai media on line dan social media, gaung puncak acara akbar Unsoed berusia setengah abad terus berseliweran menambah rasa penasaran saya. Beberapa SMS, BBM, dan pesan-pesan di social media, terus seolah tak henti mengingatkan saya. Bahkan, sudah satu minggu ini, hampir setiap hari saya membaca spanduk yang terbentang dengan kencang di sebuah pintu gerbang tol di kawasan timur Jakarta. Tertulis dengan tegas: Mendoan Summit, Reuni Akbar, Pameran Produk Unggulan.

Malam ini, saya baru saja melintasi kawasan Pancoran dan menengok ke seberang jalan, tempat Gedung SMESCO itu berada. Saya membayangkan, para panitia, senior-senior saya, sekarang sedang bermandikan keringat, menahan letih, bahkan mungkin sedang melawan rasa kantuk, agar acara esok terlaksana dengan lancar dan memberikan rasa bahagia buat kita semua.

Saya berjanji, esok (ingat: Sabtu tanggal 28 September mulai pukul 9 pagi) saya tidak akan meninggalkan rasa penyesalan buat diri saya. Dengan perasaan senang dan bangga, saya akan mendatangi Gedung SMESCO. Akan saya temui teman-teman saya. Akan kujabat erat para panitia yang telah mempersiapkan acara. Akan kurayakan usia setengah abad kampus yang telah menempa saya.


kutulis dengan perasaan bangga,


Kundiyarto FE 93
di Jakarta

 

Catatan Kecil dari Sarasehan KA UNSOED

Sejujurnya saat Pak Sukma (seorang pengamen yang diundang dan diajak secara khusus oleh Mas M. Anwar Bashori, alumnus FE) mengiringi lagu Bagimu Negeri, saya ingin menahan ujung-ujung kelopak mata saya agar tidak mengeluarkan satu tetes pun air mata saya. Tapi saya gagal. Sesaat setelah Mas Hery Sugiono (pembawa acara, alumnus Fakultas Pertanian), menyelesaikan tugasnya memandu kami dan menutup lagu Bagimu Negeri, saya bergegas ke kamar kecil, menyapu mata dan membasuh muka saya.

Keharuan itu akhirnya tumpah juga. Magnet dan aura lagu itu telah membuat ruang tempat kami berdiri saat itu menjadi berkesan begitu agung hingga membuat kencangnya degup jantung saya. Imajinasi saya akan kebesaran nama besar UNSOED, seolah berkejaran dengan imajinasi saya pada sosok alumninya. Mengidamkan satu dari alumninya ikut berkontribusi besar yang membuat bulat, lonjong dan majunya bangsa.

Lagu Bagimu Negeri, dikumandangkan dengan amat syahdu oleh seluruh hadirin di ruangan rapat besar dengan fasilitas yang lengkap—berpendingin udara maksimal, kursi empuk dengan mikrofon di setiap meja—di Kompleks Gedung Pertanian, tempat senior, kolega dan salah satu yang menginspirasi saya, Mas Tedy Dirhamsyah berkarya. Beliaulah yang mengupayakan sehingga kita semua bisa menikmati semua fasilitas dan kenyamanan ruangan itu.

Sebagai salah seorang yang paling muda dalam mempersiapkan acara sarasehan—sebelumnya ikut menyumbangkan masukan dan saran dalam pembuatan rancangan kepengurusan KA UNSOED—saya belajar banyak dan mensyukuri semua pengalaman yang saya peroleh pada satu fase kehidupan saya. Dengan segala kerendahan hati, saya ingin mengucapkan terima kasih—menulis dan memberikan apresiasi saya secara terbuka kepada mereka semua.

Puluhan rapat dan pertemuan yang tidak kenal lelah selalu dipimpin dan diarahkan oleh Mas H. Haiban Hadjid selaku Ketua Umum KA UNSOED, menjadi saksi dan goresan sejarah perjalanan sebuah ikatan alumni, yang dirindukan banyak orang untuk lebih bergiat dan berkarya sehingga mengharumkan almamater itu.

Berpindah tempat kadang di Ceger Permai kediaman Mas Haiban—di sela-sela jadwal yang amat padat senior-senior saya mulai dari Mas Final Prajnanta, Mas Tedy, Mbak Yulie Pram, Mas Rientoko, Mas Hendra, Mas Anwar, Mas Seger Budiharjo, Bang Jay, Mbak Andrijani—lalu di berbagai mal dan pusat belanja dengan alasan kemudahan akses, menjadikan saya banyak belajar dari para senior, guru dan inspirator saya. Ini tentu, tidak akan bisa saya rasakan jika beliau-beliau tidak berkenan meluangkan waktu untuk berbagi dan bertukar pengalaman dengan saya.

Sebuah ruang rapat di suatu lantai tempat Dewan Komisaris sebuah bank BUMN pun pernah menjadi saksi bisu satu dari puluhan pertemuan yang menurut saya, aura dan semangat kekompakannya tidak saya temukan di tempat lainnya. Ijinkan saya menyebut salah seorang alumni yang amat rendah hati, begitu peduli dan mau meluangkan waktu. Mas Seger Budiharjo, alumnus FE yang amat cemerlang dalam jenjang karir profesionalnya. Beliaulah yang menyediakan ruangan dengan semua fasilitas yang ada itu.

Sejujurnya saya terinspirasi oleh Mas Erie Sasmito, alumnus Fakultas Peternakan yang begitu berani, ulet, hingga bisa mencapai prestasi seperti sekarang ini. Wirausahawan sukses, menulis sebuah buku, “Dari Karyawan Menjadi Juragan”, dicintai banyak kawan dan kolega, serta dengan senang hati berbagi untuk sesama. Cerita tentang jatuh bangunnya, adalah cambuk sekaligus vitamin buat diri saya.

Mas Erie, dengan teman-teman KA UNSOED Semarang, menunjukkan kekompakan dan soliditas mereka. Mas Yani Afrianto yang begitu bersemangat, Mas Wawang yang selalu jernih dalam berpikir dan banyak ide baru serta Mas Maruto yang selalu optimis, semangat dan berpikiran jauh ke depan, adalah pemberi dukungan yang menguatkan semangat buat saya, dan tentu saja untuk teman-teman di Jakarta.

Di detik-detik terakhir menjelang pelaksanaan sarasehan, Mbak Yulie adalah seorang yang amat detil dan teliti mengingatkan kita semua. Beliau tanpa kenal waktu, di malam hari, masih peduli pada hal-hal kecil yang harus dipersiapkan agar jangan kelewatan dan lupa. Mbak Yulie adalah tipe orang yang amat bertanggung jawab, berpikiran positif dan selalu ceria.

Teman-teman di sebuah bank BUMN, mulai dari Mas Windi, Mbak Dyah, Mas Hari Pram, dan seluruh kolega di tempat mereka berkarya, adalah suplemen yang amat dahsyat bagi pemompa semangat dan kekompakan kita.

Kesediaan seluruh peserta sarasehan dari awal hingga berakhirnya acara adalah wujud nyata keinginan untuk maju bersama. Rangkaian pertemuan yang berulang kali dipimpin dengan tanpa menunjukkan rasa lelah, menyesal dan mengeluh dari Mas Haiban selaku orang tua, pimpinan, pemberi inspirasi dan panutan kita, adalah amunisi paling unggul sehingga kita semua bisa menghadiri dan mengikuti sarasehan itu.

Buat Mas Haiban Hadjid, terima kasih atas semua dedikasi, jerih payah, dukungan moril materiil yang tidak terhitung lagi. Teriring doa dari lubuk hati terdalam saya, semoga ibadah umroh yang akan dilangsungkan dalam waktu dekat ini, dapat berjalan dengan lancar dan mendapat berkah terbaik dari Tuhan Yang Maha Kuasa...


Salam,
Kundiyarto Prodjotaruno FE 93
di Jakarta

 

Sarasehan KA UNSOED Jabodetabek

 

Cinta adalah Hakikat

Hargai perbedaan, hindari kekerasan !
Hormati kemajemukan dan cintai keanekaragaman !

Saat ini, jika Anda mencari berita, yang diperoleh nyaris pasti adalah kebencian. Berita di koran, televisi atau radio sering—kalau tidak dikatakan tiap hari—diwarnai dan penuh dengan langgam permusuhan. Anak sekolah tawuan.

Mahasiswa tidak kalah. Golongan muda terdidik dan tentu saja sudah dewasa, tidak bisa mengendalikan diri. Kampus, tempat para mahasiswa menyemaikan benih-benih gagasan, mereka jadikan arena baku hantam.

Para tokoh bangsa dan elit potitik bertindak tidak kalah seru. Berlomba adu pendapat, saling menunjukkan kepintaran, yang ujung-ujungnya “berpaduan suara”, demi kepentingan rakyat. Saling klaim. Entah, rakyat mana yang mereka kehendaki.

*****

Di tengah terik matahari, dalam rutinitas kehidupan Jakarta yang selalu penuh dengan “nafas persaingan”, anak-anak jalanan keluar masuk bis dengan lincah. Mereka meloncat ke bis, mengedarkan amlop sumbangan—lengkap dengan tulisan tangan yang dibuat-buat, atau bahkan dengan komputer—dengan gesit.

Setelah itu, mereka menyapa para penumpang, “Selamat pagi bapak-bapak, ibu-ibu, kakak-kakak semua, om dan tante. Maafkan kami, berilah kami sedikit uang untuk biaya sekolah kami. Kami orang miskin, tidak punya uang”. Ada yang memberi, tapi banyak yang membuang muka.

“Anak jalanan di Jakarta sudah seperti dalam jaringan sindikat”, kata seorang ibu kepada saya.

Apa pun kondisinya, anak-anak jalanan itu mestinya adalah tanggung jawab negara. Mereka harus diselamatkan. Banyak hal yang mengancam masa depannya. Mereka kehilangan masa indah menjadi anak-anak. Seperti saya dulu, di punggu, di kudang, diajak makan atau di ajak jalan-jalan naik motor ke kota oleh bapak saya.

*****

Ajaran universal pun, telah mengajarkan bahwa kita semestinyalah menyayangi orang lain, mengasihi sesama, layaknya kita mengasihi dan menyayangi diri kita sendiri.

Rasa kasih, sayang, cinta dan saling menghargai orang lain, mungkin makin memudar. Asas-asas universal dan bersifat turun temurun dari leluhur kita, bisa jadi makin ditinggalkan. Lebih dari itu semua, kita mesti mengembalikan rasa kasih dan cinta kita, menjadi sebuah hakikat. Demikian kata Dewa 19.

(Kundiyarto M. Prodjotaruno)

New Page 1